makalah pendidkan agama islam tentang syariat
BAB I
PENDAHULUAN
a.
Latar
Belakang
Kehidupan
manusia didunia merupakan anugrah dari Allah swt. dengan segala pemberiannya
manusia dapat mengecap segala kenikmatan yang bisa dirasakan oleh dirinya
tetapi dengan anugrah tersebut kadang kala manusia lupa akan dzat Allah swt
yang telah memberikannya.untuk hal tersebut manusia harus mendapatkan suatu
bimbingan sehingga didalam kehidupannya dapat berbuat sesuai dengan bimbingan
Allah swt.hidup yang dibimbing syariah akan melahirkan kesadaran untuk
berperilaku yang sesuai dengan tuntunan dan tuntunan Allah swt dan Rasul-Nya
yang tergambar dalam hukum Allah swt yang normatif dan deskriptif (quraniyah
dan kauniyah)
Sehingga
dari syariah terdapat aturan tentang ibadah,baik ibadah khusus maupun ibadah
umum.sumber syariah adalah Al-Qur’an dan as-sunnah,sedangkan hal-hal yang belum
diatur secara pasti didalam kedua sumber tersebut digunakan ra’yu ( ijtihad
).syariah dapat dilaksanakan apabila pada diri seseorang telah tertanam akidah
atau keimanan.semoga dengan bimbingan syariah hidup kita akan selamat dunia
akhirat.
b.
Rumusan
Masalah
1.
Pengertian
Ibadah
2.
Macam-macam
dan syarat ibadah
3.
Sifat
dan ciri ibadah
4.
Hikmah
ibadah
5.
Pengertian
Syariah dan Fikih
6.
Tujuan
Syariah
7.
Prinsip-prinsip
Syariah
c.
Tujuan
penulisan
Adapun
tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui lebih dalam tentang syariahb
islam serta dapat mengaplikasikannya didalam kehidupan sehari –hari.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Ibadah
a.
Pengertian
Ibadah
Ibadah berasal dari bahasa “arab” yang artinya pengabdian,
penyembahan, ketaatan, merendahkan diri atau doa. Secara istilah ibadah berarti
perbuatan yang dilakukan oleh seseorang sebagai usaha menghubungkan dan
mendekatkan dirinya kepada Allah sebagai Tuhan yang disembah.orang yang
melakukan ibadah disebut abid atau subjek dan yang disembah disebut ma’bud atau
objek.
Menurut
ulama fikih ibadah sebagai ketaatan yang disertai dengan ketundukan dan kerendahan
diri kepada Allah.
Redaksi
lain menyatakan bahwa ibadah adalah semua yang dilakukanatau yang
dipersembahkan untuk mencapai keridaan Allah SWT dan mengharapkan imbalan pahalanya
diakhirat kelak.
Ibnu
taimiyah dan yusuf al-qardawi mendefinisikan ibadah adalah ketaatan dan ketundukan
yang sempurna dengan rasa cinta terhadap yang disembah.
Ditinjau
dari segi bahasa ibadah memiliki pengertian yaitu, taat, menurut, mrngikut,
tunduk. Dapat diartikan pula dengan: tunduk yang setinggi-tingginya, dan dengan do’a. Sedangkan menurut istilah syara’
pengertian ibadah terbagi menjadi dua yaitu:
1. Khas
(Mahdhah), menurut ahli ushul ialah segala hukum yang tidak terang illatnya,
yang tidak terang kemuslihatannya (yang tidak dipahamkan artinya) dan
urusan-urusan yang semata-mata dikerjakan berdasar kepada memperhambakan diri
kepada Allah SWT.
2. ‘Aam
(Ghairu Mahdhah) secara umum ibadah berarti mencakup semua perilaku dalam semua
aspek kehidupan yang sesuai dengan ketentuan Allah SWT yang dilakukan dengan
ikhlas untuk mendapat ridho Allah SWT.
Perbedaan
antara ibadah khusus dan umum terletak pada perbedaan sebagaimana dinyatakan
oleh kaidah yang berbunyi sebagai berikut: “bahwa ibadah dalam arti khusus
semuanya dilarang kecuali yang diperintahkan dan dicontohkan, sedangkan ibadah
dalam arti umum semuanya dibolehkan kecuali yang dilarang.” (modul hikmah fiqih kelas x)
Disimpulkan
bahwa ibadah adalah: bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah, dengan jalan
mentaati segala perintah-perintah-Nya, menjauhi larangan-larangan-Nya dan
mengamalkan segala yang diizinkan-Nya sebagai tanda mengabdikan / mempertahankan
diri kepada Allah SWT. ( modul
hikmah fiqih kelas x )
b.
Macam-Macam
Ibadah
Ulama ushul
al-fiqh membagi ajaran Islam kepada:
a)
Ajaran
yang dapat diketahui maksud dan tujuannya pensyariatannya.
b)
Ajaran
yang tidak dapat diketahui sama sekali maksud dan tujuan pensyariatannya.
c)
Ajaran
yang sebagian dari maksud dan tujuan pensyariatannya dapat diketahui, dan
sebagian lainnya tidak dapat diketahui.
Dalam kaitannya dengan pembagian ajaran Islam tersebut, maka ulama
fikih membagi ibadah tiga macam:
a)
Ibadah
Mahdhah, adalah ibadah yang mengandung hubungan dengan Allah semata-mata
(vertikal atau hablum minallah). Ciri-ciri ibadah ini adalah semua ketentuan
dan aturan pelaksanaannya telah ditetapkan secara rinci melalui
penjelasan-penjelasan Al-Quran atau sunnah, contoh shalat
b)
Ibadah
Ghairu Mahdhah, adalah ibadah yang tidak hanya sekedar menyangkut hubungan
dengan Allah, tetapi juga menyangkut hubungan dengan sesama makhluk (hablum
minallah wa hablum min an-nas), contoh sedakah.
c)
Ibadah
Dzil-Wajhain, adalah yang memiliki dua sifat sekaligus, yaitu ibadah mahdhah
dan ibadah ghairu mahdhah. Maksudnya adalah sebagian dari maksud dan tujuan
pensyariatannya dapat diketahui dan sebagian lainnya tidak dapat diketahui, seperti
nikah.
Dilihat dari segi fasilitasnya yang dibutuhkan untuk mewujudkannya
ibadah dapat dibagi menjadi tiga macam:
1)
Ibadah
badaniyah ruhiyah, yaitu suatu ibadah yang untuk mewujudkannya hanya dibutuhkan
kegiatan jasmani dan rohani saja, seperti shalat dan puasa.
2)
Ibadah
maliyah, yaitu suatu ibadah yang untuk mewujudkannya dibutuhkan kegiatan
pengeluaran harta benda, seperti zakat.
3)
Ibadah
badaniyah ruhiyah maliyah, yaitu suatu ibadah yang untuk mewujudkannya
dibutuhkan kegiatan jasmani, rohani, dan pengeluaran harta kekayaan, seperti
haji.
Dari segi sasaran dan manfaatnya ibadah dapat dibagi menjadi dua
macam:
1)
Ibadah
perorangan (fardiyah), yaitu ibadah yang hanya menyangkut ini pelakunya
sendiri, tidak ada hubungannya dengan orang lain, seperti shalat.
2)
Ibadah
kemasyarakatan (ijtima’iyah), yaitu ibdah yang memiliki keterkaitan dengan
orang lain, terutama dari segi sasarannya, seperti sedekah dan zakat.
c.
Syarat-Syarat
Ibadah
Menurut Yusuf Al-Qardawi mengatakan bahwa ada lima syarat agar
perbuatan seseorang bernilai ibadah disisi Allah:
1.
Ibadah
yang dimaksud tidak bertentangan dengan syariat Islam.
2.
Perbuatan
tersebut dilandasi dengan niat yang suci dan ikhlas.
3.
Untuk
melakukan perbuatan tersebut, yang bersangkutan harus memiliki ketangguhan hati
dan percaya diri bahwa perbuatan yang dilakukan akan membawa kepada kebaikan.
4.
Perbuatan
yang dilakukan tidak boleh menghalangi perbuatan-perbuatan wajib dalam agama.
d.
Sifat
dan Ciri-Ciri Ibadah
Mustafa Ahmad Az-Zarqa, seorang ahli ilmu fikih kontemporer
menyebutkan beberapa sifat yang menjadi ciri-ciri ibadah yang benar:
a)
Bebas
dari perantara. Untuk melakukan ibadah kepada Allah, seorang muslim tidak
memerlukan perantara, tetapi harus langsung kepada Allah.
b)
Tidak
terikat kepada tempat-tempat khusus. Secara umum Islam tidak mengharuskan
penganutnya untuk melakukan ibadah pada tempat-tempat tertentu, kecuali ibadah
haji. Firman Allah SWT :
وَلِلهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا
تُوَلُّوْافَثَمَّ وَجْهُ اللهِ اِنَّ اللهَ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ
Artinya:
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat,
maka ke mana pun kamu menghadap disitulah wajah Allah. Sesungguhnya Allah
Mahaluas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.”
(Q.S. Al-Baqarah [2]: 115)
c) Tidak memberatkan (adam al-kaharaj) dan
tidak menyulitkan (izalah al-‘anat), sebab Allah senantiasa menghendaki
kemudahan dan tidak menghendaki kesulitan. Firman Allah:
يُرِ يْدُاللهُ بِكُمُ الْيُسْرَوَلَايُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
Artinya:
“ Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu”
e. Hikmah Ibadah
Pengertian
Ibadah, seperti yang telah dijelaskan diatas, sekaligus menunjukkan bahwa
hakikat ibadah adalah ketundukan, kepatuhan dan kecintaan yang sempurna. Dalam
konteks ini, maka hikmah ibadah paling tidak akan dapat melahirkan:
1)
Kesadaran
bahwa dirinya adalah makhluk diciptakan Allah dan harus mengabdi dan menyembah
hanya kepada-Nya (Q.S. Adz-Dzariyat [51]: 56), sehingga ibadah merupakan tujuan
akhir hidupnya.
2)
Kesadaran
bahwa sesudah kehidupan dunia ini akan ada kehidupan akhirat sebagai masa untuk
mempertanggungjawabkan pelaksanaan perintah Allah selama menjalani kehidupan di
dunia (Q.S. Al-Zazalah [99]: 7-8)
3)
Kesadaran
bahwa dirinya diciptakan Allah bukan sekedar pelengkap alam semesta, melainkan
justru menjadi sentral alam dari segala isinya (Q.S. Al-Baqarah [2]: 29)
Disamping hikmah-hikmah tersebut, pada dasarnya
apa saja yang dilakukan oleh seorang muslim merupakan bentuk ibadah, sehingga memiliki
nilai atau hikmah ganda secara umum, yaitu hikmah berupa secara material nyata diterima
di duniadan spiritual abstrak yang akan diterima diakhirat kelak.
f. Dasar
dan Tujuan Ibadah
Adapun dasar-dasar ibadah diantaranya:
1. Cinta;
maksudnya ibadah yang dilakukana oleh seorang hamba didasarkan pada cintanya
kepada Allah dan Rosul-Nya, mengandung makna mendahulukan kehendak Allah dan
Rosul-Nya atas yang lainnya. Adapun tanda-tandanya mengikuti sunnah Rosul,
jihad Allah dengan menggunakan jiwa, raga, dan hartanya
2. Takut
(Khauf); maksudnya ibaadah yang dilakukan oleh seorang hamba didasarkan pada
takutnya seorang hamba Allah. Tidak merasa ketakutan kepada segala bentuk dan
jenis makhluk melebihi ketakutannya kepada Allah.
3. Harapan
(Raja’); maksudnya ibadah yang dilakukan oleh seorang hamba dijalankan dengan
penuh pengharapan tanpa ada rasa pantang menyerah. Seorang hamba dituntut untuk
selalu berharap kepada Allah dengan harapan yang sempurna tanpa merasa pernah
putus asa.
(modul
hikmah fiqih kelas x)
Ibadah
yang dilakukan setiap hamba memiliki tujuan sebagai berikut:
a. Memperoleh
ridho Allah; Ibadah yang dilakukan oleh seorang hamba, dilakukan dengan penuh
keikhlasan tanpa mengharap apapun kecuali hanya untuk memperoleh ridho Allah.
b. Menumbuhkan
kesadaran tanggung jawab; dengan melakukan ibadah dengan istiqomah akan
membentuk jiwa yang sadar akan tanggung jawab.
c. Perwujudan
dan pemeliharaan keimanan; ibadah yang dilakukan oleh seorang hamba secara
konsisten merupakan perwujudan dan pemeliharaan keimanan.
d. Meningkatkan
harkat dan martabat; dengan ibadah manusia dapat di bedakan harkat dan
martabatnya dengan hewan.
e. Meningkatkan
ketakwaan kepada Allah; takwa merupakan tujuan yang utama dalam beribadah.
f. Tawajjuh
(menghadap); Menghadap Tuhan Yang Maha Esa, Tuhan yang disembah, dan
meng-Esakannya dengan niat ibadah dalam setiap keadaan, hal itu diikuti dengan
tujuan penyembahan guna memperoleh kedudukan yang mulia.
g. Untuk
perbaikan jiwa dan mencari anugerah; Seluruh ibadah mempunyai fungsi
ukhrawiyah, termasuk memperoleh keberuntungan dengan nikmat surga dan selamat
dari azab neraka.
(modul
hikmah fiqih kelas x)
2. Syariah
a. Pengertian
Syariah dan Fikih
Kata “syariah”
adalah bahasa Arab, dalam bahasa Indonesia artinya jalan raya atau jalan ke
sumber (mata)air, atau bermakana jalannya suatu hukum atau perundang-undangan.
Kemudian kata ini diimbuhi oleh kata “Islam” menjadi syariah islam, yang secara
harfiah bearti jalan yang harus dilalui dan dipatuhi oleh setiap muslim. Kata
“syariah” terdapat pula dalam Al-Quran, di antaranya:
ثُمَّ جَعَلْنَا عَلَى شَريْعَةٍ مِنَ الْأْ عَرِ
فَا تَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَالَّذِيْنَ لَايَعْلَمُوْ نَ
Artinya :
“Kemudian Kami jadikan engkau (Muhammad) menjalani syariah
(hukum)dalam setiap urusan, maka turutilah ketentuan itu, dan janganlah engkau
turuti keinginan orang-orang yang tidak mengetahui (bodoh).”
(Q.S.
Al-jatsiyah [45]:18)
Hukum-hukum
yang terdapat dalam Al-Quran sifatnya masih mendasar, kemudian dijelaskan dan
dirinci lebih lanjut oleh Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul-Nya. Dengan demikian,
sumber Syariah Islam adalah Al-Quran dan hadis. Karena norma-norma hukum dasar
yang terdapat dalam Al-Quran itu masih ada yang bersiafat umum, perlu
dirumuskan lagi setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Norma-norma tersebut
dirumuskan kembali ke dalam kaidah-kaidah yang lebih konkret dengan menggunakan
cara-cara atau metode tertentu. Ilmu inilah yang kemudian disebut dengan ilmu
fikih, yaitu ilmu yang mempelajari syariah islam.
Secara lughawi
Syari’at artinya yaitu jalan ke tempat pengairan atau jalan yang sesungguhnya
harus diturut. Kata Syariat dapat kita jumpai pada beberapa tempat di dalam
Al-Quran seperti pada surat Maidah ayat 48, Al-Syura ayat 13, yang pada
prinsipnya mengandung arti “jalan yang jelas membawa kepada kemenangan”. Dalam
hal ini, agama islam yang ditetapkan untuk manusia diswbut Syari’at, karena
umat Islam selalu melaluinya dalam kehidupan mereka di dunia. Adapun dari segi
kesamaan antara Syari’at Islam dengan “jalan air” (seperti dalam pengungkapan
lughawi di atas) terletak pada bahwa siapa yang mengikuti Syari’at jiwanya akan
mengalir dan bersih.(modul hikmah fiqih kelas x)
Pada asalnya
Syari’at diartikan sebagai hukum atau aturan yang ditetapkan Allah atas
hamba-Nya untuk ditaati, baik berkaitan dengan hubungan mereka dengan Allah
maupun hubungan antara sesama mereka sendiri.(modul hikmah fiqih kelas x)
Kata “fikih” adalah
bahasa Arab, dalam bahasa Indonesia
berarti paham atau pengertian.
Dalam konteks syariah, ilmu fikih berarti ilmu yang berusaha memahami
hukum-hukum dasar yang terdapat di dalam Al-Quran dan Hadis. Pemahaman itu
kemudian dituangkan ke dalam kitab-kitab fikih dan disebut dengan hukum fikih.
Secara mendasar terdapat perbedaan antara fikih dan syariah antara lain:
1.
Syariat
adalah hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Quran dan Hadis, sedangkan fikih
adalah hukum-hukum yang berupa hasil pemahaman para ulama atau mujtahid dari
Al-Quran dan Hadis.
2.
Syariat
adalah ketetapan Allah yang bersifat objektif dan abadi, sedangkan fikih adalah
karya manusia yang dapat merubah atau diubah dari masa ke masa sesuai dengan
tuntutannya.
3.
Syariat
bersifat fundamental dan mempunyai ruang lingkup yang lebih luas dari pada
fikih. Sedangkan fikih bersifat instrumental dan ruang lingkupnya terbatas pada
apa yang biasanya disebut perbuatan hukum.
4.
Syariat
menunjukkan kesatuan dalam Islam, sedangkan fikih menunjukkan keragaman, seperti
terlihat dalam aliran-aliran hukum Islam yang disebut dengan Madzahib atau
madzhab-madzhab (aliran-aliran dlam fikih), seperti Madzhab Hanafi, Madzhab
Hambali, Madzhab Syafi’i dan Madzhab Maliki.
b. Ciri-Ciri Syariat Islam
Syariat Islam mempunyai ciri-ciri khas yang merupakan
ketentuan-ketentuan yang tidak berubah. Ciri-ciri khas tersebut antara lain :
a)
Komprehensif
Syariat
Islam membentuk umat dalam suatu kesatuan yang bulat walaupun umat Islam itu
berbeda-beda bangsa dan berlainan suku. Di dalam menghadapi asas-asas yang
umum, umat Islam bersatu padu, meskipun dalam segi-segi kebudayaan
berbeda-beda.
b)
Wasathiyah
(Moderat)
Syariat
Islam memenuhi jalan tengah, jalan yang imbang, tidak terlalu beerat ke kanan
mementingkan kejiwaan (rohani) dan tidak berat pula ke kiri mementingkan
kebendaan (jasmani). Inilah yang diistilahkan dengan teori wasthiyah,
menyelaraskan diantara kenyataan dan fakta dengan ideal dan cita-cita. Hal ini
tergambar di banyak tempat dalam Al-Quran, diantaranya:
وَ كَذَ لِكَ
جَعَلْنَاَ كُمْ أمَّةً وَسَطًا لِتَكُوْ نُوْا شُهَدَا ءَعَلىَ النًّاَ سِ وَيَكُوْ
نَ الَّر سُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا
Artinya
:
“Dan
demikian pula Kami telah menjadikan kamu umat Islam (ummatan wasshatian); umat
yang adil dan pilihan, agar kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia dan agar
Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas perbautan kamu.”
(Q.S.
Al-Baqarah [2]: 143)
c)
Harakah
(Dinamis)
Dari
segi harakah syariat Islam mempunyai kemampuan bergerak dan berkembang,
mempunyai daya hidup, dapat membentuk diri sesuai dengan perkembangan dan
kemajuan. Syariat Islam terpancar dari sumber yang luas dan dalam, yaitu Islam
yang memberikan kepada manusia sejumlah hukum positif yang dapat dipergunakan
untuk segenap masa dan tempat.
d)
Universal
Syariat
Islam tidak ditujukan kepada suatu kelompok atau bangsa tertentu, melainkan
sebagai rahmatan lil ‘alamin, sesuai dengan misi yang diemban oleh Rasullah
SAW. Syariat Islam diturunkan Allah, untuk dijadikan pedoman hidup seluruh
manusia yang bertujuan maraih kebahagian di dunia dan akhirat. Dengan demikian,
hukum Islam bersifat universal, untuk seluruh umat manusia dimuka bumi serta
dapat diberlakukan di setiap bangsa dan bernegara
e)
Elastis
atau Fleksibel
Syariat
Islam berisi disiplin-disiplin yang dibebankan kepada setiap individu.
Disiplin-disiplin tersebut wajib ditunaikan, dan berdosa bagi yang
melanggarnya. Meskipun jalurnya sudah jelas membentang, namun dalam keadaan
tertentu terdapat rukhshah. Kelonggaran-kelonggaran tersebut menunjukkan bahwa
syariat Islam itu bersifat elastis, ijtihad, istihsan dan mashlahih mursalah,
merupakan salah satu jalan keluar dari kesempitan.
f)
Tidak
Memberatkan
Manusia
adalah makhluk dha’if (lemah), mempunyai kemampuan yang serba terbatas. Oleh
karena itu, syariat Islam tidak membebani seseorang sampai melampaui kadar kemampuannya.
Sesuai dengan misi Islam sebagai rahmat bagi manusia, maka Islam datang untuk
membebaskan manusia dari segala sesuatu yang memberatkannya. Firman-Nya:
لَا يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا اِلَّاوُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ
وَعَلَيْهَامَااكْتَسَبَتْ
Artinya:
“Allah
tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya, ia mendapat
pahala dari kebaikan yang di usahakannya, dan mendapat siksa dari kejahatan
yang diusahkannya”
(Q.S. Al-Baqarah [2]: 286)
g)
Graduasi
(Berangsur-angsur)
Allah
sebagai pembuat hukum adlah Mahabijaksana. Hukum yang diberikan kepada manusia
secara psikologis sesuai dengan fitrahnya sendiri. Sangat sulit dilaksanakan bila
hukum itu datang sekaligus. Oleh karena itu, Allah memberikannya secara
bertahap atau berangsur-angsur, tidak sekaligus secara radikal dan
revolusioner. Seperti dalam perintah untuk meninggalkan minuman keras, berjudi,
poligami, dan yang lainnya.
c. Pembagian Syariat Islam
syariat Islam adalah hukum yang
menganut kehidupan manusia di dunia dalam rangka mencapai kebahgiannya di dunia
dan akhirat. Oleh karena itu, syariat Islam mencakup aturan-aturan yang
mengatur perilaku manusia di dunia. Syariat Islam juga mencakup semua aspek
kehidupan manusia baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat,
dalam hubungan dengan diri sendiri, manusia lain, alam lingkungan maupun
hubungannya dengan Tuhan.
Secara
sistematis syariat Islam dapat dibagi kepada 2 bagian:
1.
Ibadah
dalam Arti Khusus (Ibadah Mahdhah)
Hal-hal
yang termasuk kepada pembahasan dalam bidang ibadah ini adalah pembahasan
tentang hubungan manusia dengan Tuhannya, seperti shalat, puasa, zakat, ibadah
haji, termasuk didalamnya thaharah.
a.
Thaharah
Thaharah dalam bahasa Indonesia berarti bersih dan suci, yaitu
kondisi seseorang yang bersih dan suci dari hadas dan najis sehinnga layak
untuk melakukan kegiatan ibadah shalat, puasa, dan haji. Thaharah bertujuan
untuk menyucikan badan dari hadas dan najis. Najis adalah kotoran yang
mewajibkan seseorang muslim untuk membersihkannya, sementara hadas adalah
kondisi dimana seseorang yang mengalaminya harus (wajib) wudu atau mandi
Thaharah merupakan
masalah yang sangat penting dalam Islam, karena menjadi syarat bagi seseorang
yang hendak berhubungan dengan Allah melalui shalat, puasa atau haji. Sarana
yang digunakannya adalah air, tanah, batu, tisu ataupun sesuatu yang memiliki
sifat-sifat membersihkan. Bentuk-bentuk thaharah tersebut antara lain:
1)
Menghilangkan
najis. Yang termasuk benda najis adalah bangkai, darah, daging babi, muntah,
kencing, dan kotoran manusia atau binatang. Apabila benda-benda najis tersebut
di atas terkena badan atau tempat yang hendak digunakan shalat, terlebih dahulu
harus menhilangkan najis tersebut dengan air sehingga hilang bau, rasa, dan
warnanya.
2)
Menghilangkan
hadas. Hadas terdirinatas hadas besar dan hadas kecil. Hadas kecil dihilangkan
dengan wudhu, sedangkan hadas besar dihilangkan dengan mandi, yang disebut
dengan mandi janabat. Cara menghilangkannya adalah dengan mandi janabat yaitu
mandi sekurang-kurangnya meratakan air ke seluruh permukaan kulit. Apabila
tidak ada atau kurang air atau kerana terpaksa (darurat), seperti sakit atau
diperjalanan, wudhu atau mandi dapat di gantikan dengan tayamum, yaitu menyapu
kedua tangan dan muka dengan menggunakan tanah.
Thaharah dalam ajaran Islam merupakan bagian dari pelaksanaan
ibadah kepada Allah. Setiap muslim diwajibkan shalat lima waktu sehari semalam
dan sebelum melaksanakannya disyaratkan bersuci terlebih dahulu. Hal ini
membuktikan bahwa ajaran Islam sangat memperhatikan dan mendorong umat Islam
untuk membiasakan diri hidup bersih, indah, dan sehat. Allah Yang Mahasuci
hanya dapat didekati oleh orang-orang yang suci, baik suci fisik dri kotoran
maupun suci jiwa dari dosa, firman-Nya:
إِ نَّ اللهَ يُحِبُّ
التَّوَّابِيْنَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِ يْنَ
Artinya:
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertobatdan bersih.”
(Q.S.
Al-Baqarah [2]: 222)
b.
Shalat
Secara bahasa, shalat berarti doa. Secara istilah shalat berarti
ucapan dan perbuatan, dimulai dari takbiratul ihram dan di akhiri dengan salam
dengan syarat-syarat tertentu. Shalat merupakan satu-satunya kewajiban yang
tidak pernah gugur sepanjang akalmya sehat. Karena itu, Nabi mengajarkan shalat
tidak hanya dalam kondisi biasa, tetapi juga shalat dalam keadaan sakit,
diperjalanan bahkan shalat dalam kondisi perang atau ketakutan.
Shalat yang wajib dikerjakan
oleh setiap muslim adalah sebanyak lima waktu dalam sehari semalam, yang
terdiri atas Zhuhur, Ashar, Maghrib, Isya’ dan Subuh. Di samping shalat wajib,
terdapat pula shalat-shalat sunat, antara lain shalat sunat Rawatib, Dhuha,
Tahajud ddan sebagainya. Shalat sunat ini merupakan ibadah yang dianjurkan
dalam rangka meningkatkan dan menambah pengalaman agama dan mendekatkan diri
kepada Allah. Shalat yang merupakan ibadah harian, disamping sebagai bentuk
penghambaan diri kepada Allah, juga di dalamnya terkandung hikmah yang dalam.
Shalat yang telah ditentukan waktu dan tata caranya mengandung makna pembinaan
disiplin terhadap waktu dan tugas, sehingga seorang muslim terbiasa hidup
teratur dan tertib. Di samping itu, terdapat pula hikmah yang bersifat sosial,
yaitu dapat mencegah dari perbuatan keji dan munkar. Firman Allah SWT :
إِنَّ الصَّلَا ةَ تَنْهَىى عَنِ الْفَحْشَاءِوَالْمُنْكَرِ
Artinya:
“Sesungguhnya
shalat itu dapat mencegah dari perbuatan keji dan munkar.”
(Q.S Al-Ankabut [29]: 45)
c.
Zakat
Ajaran
Islam dalam hubungannya dengan kepemilikan harta benda seseorang adalah dikenal
dengan kewajiban membayar zakat. Menurut asal katanya zakat berarti bersih,
suci, atau tambah. Sedangkan dalam terminologi syariat Islam, zakat adalah
mengeluarkan sebagian harta kepada mereka yang telah ditetapkan menurut
syariat. Mengeluarkan zakat hukumnya wajib bagi orang yang mempunyai harta
sampai pada nisab. Nisab adalah batas harta kekayaan yang dimiliki seseorang
untuk dikeluarkan hartanya. Harta yang wajib dizakati, nisab, dan zakatnya
dapat dilihat pada tabel berikut ini:
NAMA
|
NISAB
|
ZAKATNYA
|
Unta
|
5
ekor
|
1
ekor kambing umur 2 tahun lebih
|
Sapi/kerbau
|
30
ekor
|
1
ekor anak sapi umur 2 tahun lebih
|
kambing
|
40
ekor
|
1
ekor kambing/biri-biri umur 2 tahun
|
Emas
|
93,6
gram
|
2,5
%
|
Pe
rak
|
624
gram
|
2,5
%
|
Tanaman
bernilai ekonomis/beras
|
750
kg/panen
|
5
%
|
Sumber:
Departemen Agama RI 2001
Harta yang diperoleh dari perniagaan dan perdagangan, zakatnya
sebesar 2,5%, demikian pula harta yang diperoleh melalui kegiatan profesi,
seperti dokter, guru, pengacara, dan lain sebagainya. Adapun orang-orang yang
berhak menerima zakat ditetapkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:
اِنَّمَا الصَّدَ قَا تُ لِلْفُقَرَاءِوَالْمَسَا كِيْنِ وَالْعَا مِلِيْنَ
عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوْبُهُمْ وَفِى اِلرّقَابِ وَالْغَارِمِيْنَ وَفِى
سَبِيْلِ للهِ وَابْنِ السَّبِيْلِ فَرِيْضَةً مِنَ اللهِ وَاللهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ
Artinya:
“Sesungguhnya
Zakat itu hanya untukm orang-orang fakir, miskin, pengurus zakat, para mualaf
yang baru dibina jiwanya ke arah Islam, untuk memerdekakan budak, orang-orang
yang berhutang dijalan Allah, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan
(musafir). Demikian itu adalah ketetapan yang diwajibkan Allah dan Allah Maha
Mengetahui lagi Mahabijaksana.”
(Q.S. At-Taubah [9]: 60)
Berdasarkan ayat diatas, orang-orang
yang berhak menerima (mustahiq) zakat adalah:
1)
Fakir,
yaitu orang yang memiliki usaha yang hanya menjamin setengah dari kebutuhan
hidupnya sehari-hari.
2)
Miskin,
yaitu orang yang memiliki usaha yang menghasilkan lebih dari setengah kebutuhan
hidupnya.
3)
Amil,
yaitu orang yang dipercaya untuk mengumpulkan dan membagikan harta zakat.
4)
Mualaf,
yaitu orang yang baru masuk Islam yang masih lemah keimanannya yang perlu
dibimbing dan didukung dana.
5)
Hamba
Sahaya, yaitu budak belian
6)
Garim,
yaitu orang yang mempunyai utang akibat usahanya bangkrut yang bukan digunakan
untuk maksiat dan dia tidak sanggup membayarnya.
7)
Sabilillah,
yaitu orang yang berjuang dengan sukarela untuk menegakkan agama Allah
8)
Ibnu
Sabil atau Musafir, yaitu orang yang kekurangan bekal dalam suatu perjalanan
yang baik, seperti perjalanan meenuntut ilmu, menyiarkan agama Islam dan
sebagainya.
Hikmah ibadah zakat antara lain, dapat mendidik seseorang untuk
membersihkan jiwanya dari sifat kikir, tamak, sombong, dan angkuh karena
kekayaannya, menumbuhkan sifat perhatian dan peduli terhadap orang yang lemah
dan miskin. Disamping itu, zakat dapat memberikan harapan dan optimis bagi
orang yang menerimanya. Mereka dapat menyambung hidupnya dan mengubah nasibnya,
sekaligus menghilangkan sifat iri, dengki dan kecemburuan terhadap orang-orang
kaya, sehingga kesenjangan antara orang kaya dan miskin dapat diperkecil bahkan
mungkin dihilangkan.
Dengan demikian, zakat dapat mendorong adanya pemerataan pendapatan
dan kepemilikan harta di kalangan masyarakat muslim, menghilangkan monopoli dan
penumpukan harta pada sebagian masyarakat, juga mendorong lahirnya sistem
ekonomi yang berdasarkan kerjasama dan tolong-menolong.
d.
Puasa
Puasa adalah bentuk ibadah dalam Islam yang dilakukan selama 1
bulan penuh setiap tahun, yaitu pada bulan Ramadhan. Puasa berarti menahan
makan dan minum serta yang membatalkannya, sejak terbit fajar sampai terbenam
matahari. Kewajiban berpuasa dijelaskan oleh Allah dalam firman-Nya:
ياَأَيُّهَاالَّذِيْنَ اَمَنُوْاكُتِبَ عَلَيْكُمْ الصِّيَامُ كَمَ كُتِبَ
عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَقُوْ نَ
Artinya:
“Hai
orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang ssebelum kamu supaya kamu bertakwa.”
(Q.S. Al-Baqarah [2]: 183)
Disamping puasa wajib, terdapat pula ibadah puasa yang hukumnya
sunat, seperti puasa senin-kamis, puasa pada hari Arafah, yaitu pada tanggal 9
Muharam, puasa enam hari bulan syawal dan puasa tiga hari tiap bulan pada
tanggal 13,14, dan 15. Sedangkan hari-hari yang diharamkan berpuasa adalah
tanggal 11,12, dan 13 Dzulhijjah. Pada dasarnya puasa bertujuan untuk menjadi
orang yang bertakwa. Dengan ibadah puasa orang dapat merasakan penderitaan orang
lain yang kekurangan pangan, sehingga lahir sikap peduli terhadap orang-orang
yang lemah. Dengan puasa seseorang dilatih untuk membatasi dan mengendalikan
nafsu terhadap makanan dan minuman serta dorongan seksual yang biasanya menjadi
sebab terjadinya pelanggaran. Dan banyak lagi hikamah yang bisa diambil dari
ibadah puasa.
e.
Haji
Ibadah
haji adalah berkunjung ke Baitullah (Ka’bah) untuk melakukan wukuf, tawaf, dan
amalan lainnya pada masa yang telah ditetapkan dalam syara’. Ibadah haji
hukumnya wajib bagi orang yang mampu dan mencukupi syarat-syaratnya. Waktu
melaksanakan ibadah haji dimulai dari tanggal 1 Syawwal sampai terbit fajar
tanggal 10 Dzulhijah. Cara melaksanakan ibadah haji dapat dilakukan dengan
salah satu dari tiga cara yaitu:
1.
Ifrad
adalah mengerjakan haji terlebih dahulu, kemudian mengerjakan umrah. Apabila
cara ini dilakukan, maka yang melaksanakan tidak wajib membayar dam (denda)
dengan menyembeli hewan.
2.
Tamattu’
adalah mengerjakan umrah terlebih dahulu, kemudian mengerjakan haji. Cara ini
mewajibkan pelakunya membayar dam.
3.
Qiran
adalah mengerjakan haji dan umrah dalam satu niat dan satu pekerjaan sekaligus.
Cara ini juga mewajibkan pelakunya membayar dam.
Rukun haji terdiri dari :
1)
Ihram,
yaitu niat mulai mengerjakan haji atau umrah dengan memakai kain ihram.
2)
Wukuf
di Arafah, yaitu hadir di Arafah pada waktu tergelincir matahari tanggal 9
sampai terbit fajar tanggal 10 Dzulhijah.
3)
Tawaf
Ifadhah, yaitu tawaf yang apabila tidak dilaksankan hajinya tidak sah. Tawaf
adalah berjalan mengelilinhgi Ka’bah sebanyak 7 kali.
4)
Sa’i,
yaitu berjalan dari bukit Safa ke bukit Marwah
sebanyak 7 kali.
5)
Tahallul
(bercukur), yaitu mencukur atau mengunting rambut minimal 3 halai rambut.
6)
Tertib,
semuanya dilaksanakan secara berurutan.
Adapun wajib haji terdiri atas:
1)
Niat
ihram dari Miqot
2)
Mabit
atau bermalam di Muzdalifah
3)
Mabit
di Mina
4)
Melontarkan
jumrah ‘Ula, Wustha dan Aqabah. Jumrah adalah melontar marma (dasar bawah tugu)
di Mina dengan batu kerikil pada hari Tasyriq.
5)
Tidak
melakukan perbuatan yang diharamkan pada waktu melakukan ibadah haji.
6)
Tawaaf
Wada’, yaitu tawaf penghormatan terakhir
kepada Baitullah sebelum meninggalkan Mekah.
Dalam ibadah haji ini terdapat banyak hikmah dan makna yang
bersifat simbolik. Diantaranya, dengan dilaksanakannya bersama-sama mengandung
makna perlunya kebersamaan dan kesatuan di kalangan umat Islam sebagai
implementasi dari akidah tauhid kepada Allah. Demikian pula dalam ihram dengan
berpakain sederhana tanpa jahitan, melambangkan kesadaran akan kematian.
2.
Muamalah
(Ibadah Ghairu Mahdhah)
Hal-hal
yang berhubungan dengan muamalah atau ibadah ghairu mahdhah, ini mencakup:
a)
Mu’amalah
dalam arti luas atau disebut dengan hukum perdata Islam yang mencakup:
1.
Munahakat,
yaitu hukum yang mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan,
perceraian, serta akibat-akibatnya.
2.
Waratsah,
yaitu menagtur segala masalah yang berhubungan dengan pewaris, ahli waris,
harta peninggalan, serta pembagian warisan. Hukum kewarisan Islam ini disebut juga dengan
fara’id.
b)
Muamalah
dalam arti khusus, yaitu hukum-hukum yang mengatur masalah kebendaan dan
hak-hak atas benda, tata hubungan manusia dalam msoal jual beli, sewa-menyewa,
pinjam-meminjam, perserikatan dan sebagainya.
c)
Hukum
publik (Islam) yang mencakup:
1.
Jinayat,
yang memuat aturan aturan mengenai perbuatan-perbuatan yang diancam dengan
hukuman, baik dalam jarimah-hudud maupun jarimah ta’zir. Yang dimaksud jarimah
adalah perbuatan pidana. Jarimah hudud adalah perbuatan pidana yang telah
ditentukan bentuk dan batas hukumannya dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad
SAW.(hudud jamak dari hadd yang artinya adalah batas). Jarimah ta’zir adalah
perbuatan pidana yang bentuk dan ancaman hukumannya ditentukan oleh penguasa
sebagai pelajaran bagi pelakunya (ta’zir artinya ajaran atau pengajaran).
2.
Al-Ahkam
Ash-Shulthaniyah membicarakan soal-saol yang berhubungan dengan kepala negara,
pemerintah, baik pemerintahan pusat maupun daerah, tentara, pajak dan
sebagainya.
3.
As-Siyasat
mengatur urusan perang dan damai, tata hubungan dengan pemeluk agama dan negara
lain (hubungan internasional).
4.
Al-Mukhasamat
mengatur soal peradilan, kehakiman dan hukum acara.
Dengan demikian, syariat Islam mengatur semua aspek kehidupan
manusia, sehingga seorang muslim dapat melaksanakan ajaran Islam secara utuh.
Keutuhan syariat Islam tidak berarti semua aspek sudah diatur oleh hukum Islam
secara detil, kecuali masalah ibadah, hukum Islam memberikan pandangan mendasar
bagi aspek muamalah, sehingga perilaku sosial manusia memiliki landasan hukum
yang memberi makna dan arah bagi manusia, kendati pun secara operasional urusan
mu’amalah diserahkan kepada manusia, tetapi prinsip-prinsip dasar dari hubungan
tersebut diberi dasar oleh syariat Islam, Sehingga aspek-aspek kehidupan manusia
dapat terwujud secara Islami.
d. Tujuan Syariat Islam
Tujuan Allah SWT mensyariatkan hukmnya adalah untuk memelihara
kemaslahatan manusia, sekaligus untuk menghindari kerugian atau kerusakan
(mafsadat), baik di dunia maupun di akhirat. Tujuan tersebut hendak dicapai
mealalui perintah dan larangan (taklif), yang pelaksanaannya tergantung kepada
pemahaman sumber hukum yang utama; Al-Quran dan Hadis.
Dalam kasus
hukum yang secara eksplisit dijelaskan dalam kedua sumber itu, kemaslahatan
dapat ditelusuri melalui teks yang ada. Jika ternyata kemaslahatan itu dijelaskan,
maka kemaslahatan itu dijadikan titik tolak penentuan hukumnya. Kemaslahatan
seperti itu lazim digolongkan kepada Al-Maslaht Al-Mu’tabarat. Dalam hal ini,
peranan mujtahid sangat penting untuk menggali dan menemukan maslahat yang
terkandung dalam menetapkan hukum. Pada dasarnya hasil penelitian itu dapat
diterima, selama tidak bertentangan dengan maslahat yang telah ditetapkan dalam
kedua sumber tersebut. Jika terjadi pertentangan, maka maslahat dimaksud
digolongkan sebagai Al-Maslahat Al-Mughat.
Tujuan syariat
Islam perlu diketahui oleh mujtahid dalam rangka mengembangkan pemikiran hukum
dalam Islam secara umum dan menjawab persoalan-persoalan hukum kontemporer yang
kasus-kasusnya tidak diatur secara eksplisit oleh Al-Quran dan Al-Hadis. Lebih
dari itu, tujuan hukum perlu diketahui dalam rangka mengetahui apakah suatu
kasus masih dapat diterapkan berdasarkan satu ketentuan hukum karena adanya
perubahan satu ketentuan hukum karena adanya perubahan struktur sosial hukum
tersebut dapat diterapkan. Untuk dapat menangkap tujuan hukum yang terdapat
dalam sumber hukum, maka diperlukan sebuah ketrampilan yang dalam ilmu ushul
fikih disebut Maqashid Asy-Syari’ah. Dengan demikian, pengetahuan Maqashid
Asy-Syari’ah menjadi kunci bagi keberhasilan mujtahij dalam ijtihadnya.
Pencarian para
ahli ushul al-fiqh terhadap maslahat itu diwujudkan dalam bentuk metode
ijtihad. Namun pada dasarnya, semua metode itu bermuara pada upaya penemuan
maslahat, dan menjadikan sebagai alat untuk menetapkan hukum-hukum yang
kasusnya tidak disebutkan secara eksplisit baik dalam Al-Quran dan Hadits. Atas
dasar asumsi ini maka dapat dikatakan bahwa setiap metode penetapan hukum yang
dipakai oleh para ahli ushul al-fiqh bermuara pada Maqashid Asy-Syari’ah.
Asy-Syatibi menegaskan bahwa sesungguhnya syariat itu bertujuan mewujudkan
kemaslahatan manusia di dunia dam di akhirat (Abu Ishaq Al-Syabiti, 1388:6).
Lima pokok yang
biasa disebut dengan Maqashid Asy-Khamsah sebagai Maqshid asy-Syari’ah dapat
diwujudkan dan dipelihara. Kelima unsur pokok tersebut adalah:
1)
Hifzhu
Ad-Din, yaitu memelihara agama
2)
Hifzhu
Al-Mal, yaitu memelihata harta kekayaan
3)
Hifzhu
An-Nasl, yaitu memelihara ketentuan
4)
Hifzhu
Al-Aql, yaitu memelihara akal
5)
Hifzhu
An-Nafs, yaitu memelihara jiwa
Para ulama fiqih membagi 3 tingkatan tujuan syariah, yaitu:
1.
Maqashid
Adh-Dharuriyat, yaitu dimaksudkan untuk memelihara lima unsur pokok dalam
kehidupan manusia.
2.
Maqashid
Al-Hajiyat, yaitu dimaksudkan untuk menghilangkan kesulitan atau menjadikan
pemeliharaan terhadap lima unsur pokok menjadi lebih baik.
3.
Maqashid
At-Tahsiniyat, yaitu dimaksudkan agar manusia dapat melakukan yang terbaik
untuk penyempurnaan pemeliharaan lima unsur pokok (Asafri Jaya Bakri, 1996:72).
e. Aliran-Aliran dan tokoh-tokoh Syariat Islam
1)
Imam
Abu Hanifah
Nama lengkap adalah Abu Hanifah Nu’man Ibn Tsabit Al-Taimi (80-150
H/699-767 M), lahir dan tinggal di Kufah. Pada masanya dia terkenal sebagai
seorang sarjana dan mahaguru yang luas ilmu pengetahuannya terutama di bidang
hukum. Dia hidup dama dua pemerintahan yaitu Bani Umayah dan Bani Abbasiyah.
Pada masa pemerintahan Bani Umayah dibawah kekuasaan Gubernur Irak, ysid ibnu
Hubairah, Abu Hanifah akan diangkat menjadi hakim, tetapi dia menolaknya, oleh
karena itu dia mendapat tekanan dan siksaan dari penguasanya. Hal yang sama
pada masa pemerintahan Abbsiyah, Khalifah Al-Manshur, memanggilnya dan akan
mengangkatnya menjadi hakim, tetapi dia menolaknya juga, oleh karenanya dia mendapatkan hukuman dan siksaan.
Abu Hanifah banyak mengabdikan hidupnya dalam studi hukum Islam dan
memberikan kuliah-kuliah kepada para mahasiswanya. Dia meninggalkan sebuah
karya buku yang berjudul Al-Fiqh Al-Akbar. Diantara ulama pengikut Abu Hanifah
yang berperan dalam mengembangkan pahamnya adalah:
1.
Ahmad
Husain Al-Baihaqi (458/1065), bukunya: Al Yanabi’ fi Al-Ushul.
2.
Abdullah
Umar Ad-Dabbusi (430/1038), bukunya, Taqwim al-‘Adillah fi Ushul Al-Fiqh dan
Asrar Al-Ushul wa Al-Furu’.
3.
Ali
Muhammad Al-Bazdawi (482/1089), bukunya: Kanz al-Wushul ila Ma’rifah Al-Ushul
wa Al-Furu’
4.
Abu
Bakar Al-Sarakhsi (490/1096), bukunya: Ushul Al-Fiqh.
Paham ini telah
berkembang luas, dan pengikutnya telah tersebar di berbagai negara, utamanya di
Turki, Pakistan, Afganistan, Yordania, Cina, dan Soviet Rusia.
2)
Imam
Malik ibn Anas
Lahir dan tinggal di Madinah (95-179 H/713-789 M), dia menuntut ilmu dikota itu, kemudian
menjadi ulama besar yang sangat berpengaruh. Imam Malik memiliki dua
keistimewaan yang melebihi ulama-ulama di zamannya, yaitu spesialis dalam ilmu
hadits dan ilmu hukum, sehingga ia memangku jabatan sebagai mufti.
Karyanya terbesar Al-Muwathatha’ yaitu kumpulan-kumpulan hadis yang
disusunnya. Imam Malik menduduki posisi terpenting dalam mengajarkan hadis.
Disamping itu, beliau memberikan fatwa dan mengajarkan hukum-hukum Islam dengan
menggunakan metode ijtihad.
Sebagaimana Abu Hanifah, dia juga membentuk madzhab fikih yang
disebut dengan Madzhab Maliki. Para ualam yang berperan dalam mengembangkan
mabzhab ini, antara lain:
a.
Abu
Bakar Muhammad Al-Baqilani (403/1012), judul bukunya; Al-Taqrib min Ushul Al-Fiqh dan Al-Muqni fi Ushul Al-Fiqh.
b.
Abdul
Wahab Ali al-Baghdadi (421/1030), judul bukunya; AL-Ifadhah fi Ushul Al-Fiqh.
c.
Ahmad
Muhammad Al-Ma’arifi (429/1037), judul bukunya: Al-Wushul ila Ma’rifati
Al-Ushul.
d.
Ali
ibn Hazm (456/1063), judul bukunya; Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam. Pengikutnya
yang terbanyak adalah di kotanya sendiri, yaitu di Madinah, dan sekarang telah
banyak tersebar di berbagai daerah atau negara seperti, Maroko, Al-Jazair,
Tunis, Sudan, Kuwait, dan Bahrain.
3)
Imam
Syafi’i
Nama lengkapnya adalah Muhammad ibn-Idris Asy-Syafi’i (150-204 H /
757-820 M) dilahirkan di kota gaza dan meninggal di kota Kairo Mesir. Sejak
kecil dia ditinggal wafat bapaknya, dan tumbuh dalam menuntut di Mekah, berama
ibunya yang hidup dalam keluarga miskin. Pernah belajar hadis dari Imam Malik
di Madinah dan dalam waktu yang sangat singkat. Disamping itu, dia telah hafal
Al-Quran, juga hadis-hadis yang dipelajarinya telah dihafalkan semua.
Dari prmahaman yang tinggi dan luas, Imam Syafi’i mampu
mengeluaarkan dua bentuk fatwa atau qaul (pendapat). Pertama, ketika dia sedang
bermukim di Baghdad, fatwanya disebut dengan Qaul Qadim (pendapat lama). Kedua,
ketika dia tinggal di Mesir, fatwanya disebut dengan Qaul Jadid (pendapat
baru). Selama hidupnya dia telah menulis sejumlah kitab sebanyak 113 buah kitab
tentang tafsir, fikih, kesustraan, dan lainnya. Di antara kitab yang terkenal
adalah Al-Umm. Imam Syafi’i juga membentuk madzhab fikih yang disebut juga
dengan Madzhab Syafi’i. Tokoh-tokohnya adalah:
1.
Ahmad
Muhammad Al-Isfarayini (406/1016), bukunya: Kitab Usul Al-Fiqh.
2.
Ibrahim
Ali Al-Firuzabadi (476/1083), bukunya: Al-luma fi Ushul Al-Fiqh dan
Al-Tabshirah fi Ushul Al-Fiqh.
3.
Imam
Al-Haramayn Al-juwayni (478/1085), bukunya: Al-Burhanfi Ushul Al-Fiqh,
Al-Thuhfah fi Ushul Al-Fiqh dan Al-Waraqat.
4.
Abu
Hamid al-Ghazali (505/1111), bukunya: Tahdzib Al-Ushul, Al-Mankhul min Ilmi
Al-Ushul dan Al-Mustashfa min Ilmu
Al-Ushul.
Para
pengikutnya telah tersebar di berbagai negara antara lain di Indonesia,
Malaysia, Palestina, Libanon, Mesir, Irak, Saudi Arabia, Yaman, Hadramaut, dan
negara-negara lainnya.
4)
Imam
Ahmad Ibn Hambal
Lahir dan tinggal di Baghdad (164-241 H/780-855 M). Imam Hambali
membentuk madzhab yang disebut dengan Mazdhab Hambali. Dia ahli dalam bidang
Hadits, Fikih, dan teologi. Pertama-tama dia telah belajar dari Imam Syafi’i,
setelah lama dan setelah cukup ilmunya kemudian dia berijtihad sendiri dan
merintis madzhab sendiri.
Banyak ulama yang datang belajar kepadanya. Dia terkenal sebagai
orang yang memiliki teguh pendirian dan keras mempertahankannya. Watak itulah
yang menyebabkan Khalifah Al-Ma’mun menyiksa dan menghukumnya, yaitu dalam hal
perbedaan pendapat tentang keberadaan Al-Quran (apakah Al-Quran qadim ataukah
baru). Spesialisasinya adalah dibidang hadis, karenanya buku-buku hasil karyanya
banyak yang berkenan dengan hadis.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Syari’ah islam adalah peraturan atau hukum-hukum agama yang di
wahyukan kepada nabi besar Muhammad SAW, yaitu berupa kitab suci Al-Qur’an,
Sunnah atau hadist Nabi. Syari’ah islam merupakan panduan menyeluruh dan
sempurna seluruh permasalahan hidup manusia dan kehidupan dunia ini. Syari’ah
islam memberikan tuntunan hidup khususnya pada ummat islam dan umumnya pada
seluruh ummat manusia untuk mencapai kebahagiaan dunia akherat dan juga dapat
terus menerus memberikan dasar spiritual bagi ummat islam dalam menyongsong
setiap perubahan yang terjadi di masyarakat dalam semua aspek kehidupan. Jadi,
sebaiknya kita sebagai ummat islam dapat menerapkannya di dalam kehidupan
sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
Alaidin
Koto, Prof.Dr.Ma, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada,
2004
LATIHAN
SOAL
Pilihan
Ganda
1. Di
bawah ini pengertian ibadah menurut bahasa, kecuali . . .
a. pengabdian c. keta’atan e.
dusta
b. do’a d.
Penyembahan
2.
Ada berapakah macam-macam ibadah ?
a. 5 c.3 e.1
b. 4 d.2
3. Perhatikan
pernyataan dibawah ini
1) kompreshif 3) harakah
5)
thaharah
2) wasathiyah 4) memberatkan
Dari pernyataan diatas manakah yang termasuk
ciri-ciri syari’at islam?
a.
1,2,5 c. 2,3,4 e.
1,4,5
b.
2,4,5 d.
1,2,3
4.
Perhatikan pernyataan berikut:
1) Subuh 3)Ashar 5)Isya’
2)Tahajjud 4)Dhuha
Manakah yang termasuk shalat
wajib?
a.
1,4,2 c. 1,3,5 e. 2,4,5
b.
2,3,4 d. 3,4,5
5.
Dibawah
ini mana yang termasuk hukum publik (Islam), kecuali. . .
a.
Jinayat
c. Al-Mukhasanat e. Al-Ahkam
b.
Wasathiyah d. As-Siyasat
SOAL
ESAI
1.
Sebutkan
dan jelaskan orang-orang yang berhak menerima zakat!
Jawab
:
1)
Fakir,
yaitu orang yang memiliki usaha yang hanya menjamin setengah dari kebutuhan
hidupnya sehari-hari.
2)
Miskin,
yaitu orang yang memiliki usaha yang menghasilkan lebih dari setengah kebutuhan
hidupnya.
3)
Amil,
yaitu orang yang dipercaya untuk mengumpulkan dan membagikan harta zakat.
4)
Mualaf,
yaitu orang yang baru masuk Islam yang masih lemah keimanannya yang perlu
dibimbing dan didukung dana.
5)
Hamba
Sahaya, yaitu budak belian
6)
Garim,
yaitu orang yang mempunyai utang akibat usahanya bangkrut yang bukan digunakan
untuk maksiat dan dia tidak sanggup membayarnya.
7)
Sabilillah,
yaitu orang yang berjuang dengan sukarela untuk menegakkan agama Allah
8)
Ibnu
Sabil atau Musafir, yaitu orang yang kekurangan bekal dalam suatu perjalanan
yang baik, seperti perjalanan meenuntut ilmu, menyiarkan agama Islam dan
sebagainya.
1.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar